Intermezzo

Apa Salahnya Ambisius?

“Dasar ambis,” kata Nunung cetus. Ia kesal melihat satu temannya sudah mengerjakan tugas, padahal Nunung sendiri belum. Akhirnya Nunung pun menjauhi temannya itu. Sementara temannya, tetap konsisten mengerjakan tugas tepat waktu dan tidak perduli dengan Nunung.

Temannya Nunung cerdas, temannya Nunung punya visi, temannya Nunung tidak sombong. Jadilah seperti temannya Nunung.

sumber gambar: greatpeoplemaker.blogspot.co.id

Pemuda sekarang, entah mengapa, lebih senang santai-santai. Melihat waktu semurah-murahnya sehingga kalau bisa cepat berlalu. “Ah capek banget. Pengen cepet-cepet nikah gw,” keluh Nunung saat mengerjakan tugas yang menumpuk.

Padahal, kita sama-sama tahu bahwa waktu itu tidak bisa diputar kembali. Sementara belakangan, menjadi tepat waktu itu malah dikatai “ambis” atau ambisius. Lalu apa salahnya menjadi ambis?

Menurut paham saya, tidak ada salahnya selama masih mengikuti aturan yang berlaku. Jika saya jadi Nunung, saya pun tidak akan nyinyir mengata-ngatai “dasar ambis”.

Saya pun tidak akan sewot jika banyak teman saya yang ambis. Justru itu memicu saya untuk lebih cerdas dan lebih baik lagi dalam memanfaatkan waktu. Itu akan menjadi lingkungan yang positif, persaingan yang positif, pertemanan yang positif.

Tidak ada konflik pribadi “takut dibilang ambis” atau apapun itu, yang menurut saya justru menjadi alasan untuk malas. Jadi bagi saya, justru ejekan ambis itu menyesatkan.

Saya pun tidak akan risih jika dikatai ambis. Kecuali suatu saat nanti ambis itu dilarang Undang-Undang dan saya menjadi buron karena tingkah laku ambis saya. Jika sudah seperti itu, barulah saya akan pindah negara.

Jadi, tidak perlu takut untuk dikatai ambis. Anggap mereka bodoh karena telah membuang-buang waktu.

→ Penulis Si #PeIsengMikir: @Hotlasmora

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

YANG LAGI IN

To Top