#ARTLAGI – Belum lama ini, sedang hangat-hangatnya pembahasan seputar ‘Gejayan Memanggil’. Di mana, gerakan ini dimulai dari adanya gerakan mengajak seniman-seniman melukis mural. Yang kemudian diikuti dengan gerakan penghapusan gambar jalanan yang terdapat di berbagai daerah. Dalam hal ini, Humas dari Gerakan Gejayan Memanggil ini menyebutkan, bahwa aksi pemberangusan ataupun penghapusan karya mural ini merupakan bentuk kekeliruan orang dewasa, penguasa.
Karena gambar mural adalah sebuah kebudayaan yang dialami manusia sejak masih anak-anak. Ia berkata, bahwa coret-coretan yang terdapat pada tembok merupakan cara menyuarakan kebebasan, bersuara tanpa batas, lah mengapa sekarang malah ingin dibatasi. Nah, adanya lomba mural ini adalah respon terhadap sikap kebijakan pemerintah yang sangat responsive destruktif dan juga anti kritik tersebut.
Dalam perlombaan tersebut, terdapat kriteria yang dijadikan aspek penilaian. Yakni semangat melawan, keberanian, diapresiasi rakyat, yang terpenting tidak menyinggung SARA. Kriteria terakhir adalah cepatnya aparat dalam merespon dan menghapus karya semua peserta.
Kemudian, ia juga menjelaskan, bahwa karya yang lebih cepat dihapus dan direspon oleh pihak aparat akan memperoleh nilai yang lebih. Hal ini menjadi bentuk estetika perlawanan, dan menjadi indikasi, bahwa saat itu pemerintah tengah mengalami kepanikan. Panik saat rakyat telah dikelabui dengan banyak cara. Ia juga menambahkan, “Dengan memperpanjang terus, tidak tegas hingga sampai kapan, dan tidak ada tolak ukur keberhasilan dalam meredam angka kasus dan kematian, termasuk ekonomi yang justru disuntikkan ke pebisnis yang sudah besar.”
View this post on Instagram
Perlombaan ini adalah perlombaan hati nurani. Bahkan, yang menjadi juara tidak mendapatkan hadiah uang. Adapun hadiah yang disiapkan adalah eksposure. Ke depan, murla akan memberikan hadiah yang lebih berupa desain baju.
Hasil penjualan bajunya akan dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Adanya penghapusan mural ataupun gambar pada dinding yang sudah dilakukan oleh aparat adalah hal yang salah. Karena seharusnya, gambar-gambar tersebut disajikan dengan bebas layaknya jalanan di Eropa.
Bahkan ternyata, mural di banyak Negara sudah menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Sementara di Indonesia, aksi memberikan suara justru dianggap tindakan kriminal. Pihak mural menyayangkan, karena bersebasaran baliho yang menyampah. Dan justru dianggap sebagai representasi suara rakyat.
