Film-film baru dengan teknologi tinggi bermunculan saat ini. Dengan grafis yang memukau juga cerita yang menarik, membuat film-film yang ada semakin memanjakan penikmatnya.
Ciri film asing yang menonjolkan grafis dan kisah yang cerdas juga Film Indonesia dengan cerita cinta dan komedi yang khas, membuat masyarakat semakin tergugah untuk menghamburkan uangnya di bioskop-bioskop ternama.
Perfilm-an di Indonesia sendiri semakin membaik seiring hadirnya film-film bermanfaat juga cerita yang seru. Seperti The Raid, Laskar Pelangi, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, atau film-film komedi milik Raditya Dika yang tenar di kalangan anak muda menjadi tanda bangkitnya perfilman di Indonesia.
Namun, bagaimana perjalanan film di Indonesia? Apa ada pengaruhnya dengan nasib perfilman kita saat ini yang cenderung “kurang menang” di grafis ketimbang film luar? Berikut saya akan membeberkannya secara singkat mengenai sejarah perfilm-an di Indonesia.
Gambar Idoep
Gambar idoep merupakan sebutan awal untuk film di Indonesia pada saat itu. Masuk pada 5 Desember 1900 di Batavia atau Jakarta saat ini, film dokumenter mengenai perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag merupakan film pertama yang diputar di Tanah Abang (bioskop pertama di Indonesia). Sayang sekali film tersebut tidak banyak diminati karena harga tiketnya yang terlalu mahal. Masalah tersebut membuat harga tiket turun drastis hingga 75% pada 1 Janurai 1901 demi merangsang minat penonton.
Para penonton pun terangsang *eh
Jika sebelumnya hanya film dokumenter, maka pada tahun 1905, film-film cerita mulai bermunculan. Film tersebut didatangkan langsung dari Amerika dan berganti judul setelah sampai di Indonesia menggunakan bahasa Melayu. Film impor ini cukup diminati di Indonesia dan hal tersebut mempengaruhi peningkatan jumlah penonton bioskop pada saat itu.
Baca Juga: Sejarah Film Horor Indonesia
Melihat peluang dari film cerita, Indonesia pun tidak mau kalah dengan turut membuat film cerita yang juga diputar di Bioskop pada tahun 1926. Film pertama ini berjudul Loetoeng Kasaroeng yang diproduksi oleh NV Java Film Company. Sayangnya, film tersebut masih tanpa suara atau bisu. Padahal di benua lain terutama Eropa, sudah bermunculan film-film yang bersuara.
Film berikutnya adalah Eulis Atjih dengan perusahaan yang masih sama dengan film pertama. Seperti efek domino, perusahaan-perusahaan perfilm-an lainnya mulai bermunculan, seperti Halimun Film Bandung produksi Lily van Java dan film Setangan Berlumur Darah produksi Central Java Film Copy (Semarang).
Film Bersuara
Seiring berjalannya waktu, akhirnya film suara muncul pada tahun 1931 dengan judul Atma de Vischer produksi Tans Film Company yang bekerjasama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung. Selama itu, sudah 21 film yang bermunculan baik bisu maupun bersuara. Hal tersebut membuat jumlah biskop meningkat pesat hingga mencapai 227 bioskop di Indonesia pada tahun 1936.
Perfilman di Indonesia terus berkembang seiring waktu dengan datangnya produser Cina untuk membuat film Indonesia yang pada saat itu cukup terkenal karena ciri khasnya yang menghibur. Film sempat mengalami perubahan fungsi pada masa penjajahan Jepang menjadi alat politik demi menyampaikan ideologi pemerintahan Jepang pada masa itu.
Akibatnya perusahaan-perusahaan perfilman yang sebelumnya sudah terkenal ditutup dan sebagian diubah nama sesuai kebijakan pemerintahan Jepang. Hingga Indonesia dapat merebut kemerdekaan, pada saat itu juga perfilman kembali merdeka dengan dibantu para mahasiswa yang juga berperan dalam pembuatan film-film bergenre persatuan dan kebangkitan nasional juga film-film yang dapat membangun bangsa.
Produser Indonesia yang sangat berperan dalam perfilman di Indonesia pada saat itu adalah Djamaludin Malik yang juga mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret- 5 April 1955. Beliau juga membentuk Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) yang lahir pada 30 Agustus 1954. Pada festival tersebut, film Jam Malam karya Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik. Film tersebut juga mewakili Indonesia dalam Festival Film Asia II di Singapura. Film terbaik karya Usmar Ismail ini bercerita tentang kritik sosial tajam mengenai nasib para bekas pejuang setelah kemerdekaan.
Hingga pada tahun 80-an produksi film lokal meningkat hingga mencapai 721 judul film dari sebelumnya 604 pada tahun 70-an. Jumlah aktor dan aktris pun turut bertambah begitu pula para penonton. Tema komedi, seks, seks horror, dan film musik mendominasi produksi film pada masa tersebut. Warkop dan H. Rhoma Irama adalah dua nama yang paling ditunggu oleh penonton pada masa itu.
Catatan Si Boy dan Lupus adalah dua film yang juga mencatat sejarah karena sukses meraih banyak penonton dan rekor tersendiri. Namun, film tersebut masih kalah monumental dalam jumlah penonton dengan film G-30S/PKI yang mencapai 699.282 jiwa yang pada saat itu seakan tidak mungkin tertandingi.
Bioskop Dan Film Lokal Sekarat
Perkembangan perfilman yang semakin pesat ini juga berpengaruh terhadap bioskop. Jika sebelumnya dalam satu bioskop terdapat beberapa kelas, kali ini bioskop terpecah menjadi beberapa kelas. Cinemascope berubah nama menjadi Bioskop 21 yang juga berpengaruh terhadap tergesernya film-film lokal karena mutu film yang mulai dipertimbangkan.
Hal lain yang mempengaruhi tergesernya film-film lokal adalah impor dan distribusi film yang diserahkan kepada pihak swasta. Paling parah, film lokal tidak pernah diputar dan hanya film Hollywood saja yang ditampilkan. Ditambah lagi hadirnya stasiun-stasiun televsi swasta yang memutar film-film impor juga telenovela.
[Meski dalam keadaan “sekarat”, beberapa karya Garin Nugroho seperti Cinta dalam Sepotong Roti dan Daun di atas Bantal masih mampu memenangi berbagai penghargaan di Festival Film Internasional!]
Masuk ke tahun 90-an, stasiun-stasiun televisi swasta lagi-lagi mempengaruhi eksistensi dari bioskop dengan adanya sinetron-sinetron yang membuat para pemain juga penonton beralih ke layar kaca. Padahal pada saat itu, ekonomi perfilman di Indonesia begitu terpuruk dengan adanya Laser Disc, DVD, dan VCD yang memudahkan masyarakat untuk menikmati film impor di televisi ketimbang bioskop.
Kemajuan Perfilman
Berkembangnya teknologi yang berdampak ke perfilman Indonesia tidak selalu negatif. Positifnya, film-film independen bermunculan karena hadirnya kamera-kamera digital. Hal tersebut membuat perfilman di Indonesia semakin bervariasi meskipun terbatas bagi yang ingin menontonnya. Kualitas perfilman juga beragam akibat hadirnya kamera digital ini, mulai dari amatir sekali hingga baik sekali dalam sinematografinya. Terbatasnya penonton disebabkan oleh kurangnya tempat pemutaran film dan biasanya hanya dalam ajang festival saja.
Hingga kini, film Indonesia mulai berderak kembali. Beberapa film booming seperti
Ada Apa Dengan Cinta (AADC) yang mengundang banyak penonton juga turut memberi semangat baru bagi perfilman Indonesia hingga dibuat seri ke-2-nya yaitu Ada
Apa Dengan Cinta 2 pada tahun 2016 ini, juga
The Raid yang go-International,
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk yang fenomenal,
Laskar Pelangi yang inspiratif, dan film-film lainnya yang tidak kalah hebatnya telah lahir di Indonesia.
Meskipun terkadang terkesan latah dalam pemilihan tema, namun hal tersebut tidak seharusnya membuat industri kreatif juga penonton surut semangatnya demi mendukung majunya perfilman di Indonesia. Selain film-film tersebut, juga hadir film animasi yang tidak kalah hebatnya seperti Huma dan Meraih Mimpi yang kabarnya sudah Go-International pula.
Film-film mungkin terkesan sepele bagi kemajuan bangsa, namun sadarkah kita bahwa pada masa penjajahan sebelumnya film lah yang membangkitkan semangat bangsa. Jadi, mengapa kita tidak bisa kembali bangkit dan membangun bangsa dengan sekedar ke bioskop untuk menonton film lokal ketimbang film luar. Memang menarik untuk menonton film buatan luar, namun bukannya akan lebih menarik jika film lokal bersaing dengan film luar?
“Setidaknya sumbangkan waktu anda untuk menonton film lokal di bioskop dan bersabar menunggu download-an di laptop jika memang anda masih ingin melihat film luar yang katanya top.”
Sumber : http://Perpusnas.go.id/